Dewi Arilaha, Magister SGPP (School Of Government And Public Policy Indonesia) : “Corona Virus Dan Dampak Ikutannya Pada Masyarakat” -->

Dewi Arilaha, Magister SGPP (School Of Government And Public Policy Indonesia) : “Corona Virus Dan Dampak Ikutannya Pada Masyarakat”

14 Mei 2020, Mei 14, 2020
Pasang iklan


Aspirasijabar.net – Pandemi covid-19 yang sedang melanda dunia memang menimbulkan banyak keprihatinan di berbagai negara. Salah satu yang menjadi masalah adalah bagaimana mengatasi dampak pilihan strategi mengatasi penularan wabah. Lockdown dan PSBB menjadi pilihan sulit, terutama bagi negara-negara yang mempunyai kapasitas terbatas ihwal kesiapan finansial untuk membiayai pangan masyarakat. Juga, timbulnya penafsiran yang beragam di masyarakat akibat pemahaman dan informasi yang minim.

Munculnya tawaran untuk berdamai dengan situasi (“The New Normal”), tentu saja menambah tafsir beragam di tengah masyarakat. Ditambah, beberapa komplain akibat miskomunikasi yang muncul terkait narasi-narasi yang dinilai kontra produktif. Apa sebenarnya yang sedang terjadi jika ditinjau dari sudut public policy? Bagaimana tawaran jalan keluar yang dapat diketengahkan?

Hal-hal di atas dibahas pada Forum Webinar NPA (News,Props,Ads) yang diikuti para jurnalis senior, akademisi, profesional/praktisi media, regulator, politisi & stakeholder pada Minggu (10/05/2020).
Dewi Arilaha, Magister SGPP (School of Government and Public Policy Indonesia) dan pendiri Institut Nitisara Indonesia (INI) yang pernah bekerja sebagai peneliti dan communication adviser di RCA (Reality Check Approach) Indonesia di bawah PRSF (Poverty Reduction Support Facility) kantor TNP2K/Sekretariat Wapres RI, pada forum tersebut memberikan analisis menarik dan komprehensif tentang interrelasi antara model penanganan wabah covid-19 di Indonesia, kesiapan aparatur pemerintahan khususnya analisa public policy, komunikasi dan teknis di lapangan terkait penanganan wabah.

Berikut di bawah ini rangkuman paparannya :

“Menanggapi analisa yang beragam terkait model penanganan wabah covid-19 di Indonesia, yang harus dicermati adalah bagaimana koordinasi antar lembaga dan kementerian (K/L) yang selama ini berlangsung.

Tak bisa dipungkiri bahwa hal pokok yang sedang mengemuka sebenarnya adalah masalah Data. Apa sebenarnya problem dengan data di Indonesia.

Pengalaman bekerja di bawah Sekretariat Wapres RI/TNP2K (Penanggulangan Kemiskinan Nasional) mencatat bahwa data adalah sesuatu yang tidak pernah lepas dari pembicaraan. Penggunaan Basis Data Terpadu (BDT) ketika itu dikelola oleh TNP2K berkoordinasi dengan BPS yang membantu mengumpulkan data hingga tahun 2015, sebelum dipindahkan ke Kementerian Sosial (Kemensos).

Ketika proses pengambilalihan data BDT oleh Kemensos, terdapat komitmen bahwa data yang by name by address di seluruh Indonesia akan diupdate setiap enam bulan sekali. Maka sebaiknya ketika melakukan janji, sudah harus menghitung berapa banyak fiscal space yang Indonesia miliki.

Apakah pemerintah telah mampu menggenjot penerimaan pajak di seluruh Indonesia untuk memastikan bahwa upaya tersebut akan bisa terimplementasi, termonitor dan terevaluasi dengan baik sehingga apapun pembelajaran di lapangan akan menjadi umpan balik dalam penentuan dan perumusan berikutnya di dalam siklus kebijakan.

Para pegiat berbagai lembaga seperti Bina Desa, Bina Swadaya yang bekerja di desa, juga Bumdes yang bekerja di seluruh Indonesia, pernah menyebutkan bahwa jika berbicara tentang keseluruhan penduduk, maka akan berbicara tentang ketahanan pangan, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

Apakah sudah berpikir ke arah sana? Dalam dua pekan terakhir terdapat banyak kebijakan yang telah dibicarakan. Maka seharusnya yang segera dilakukan adalah Pertama, Melakukan pemutakhiran Basis Data Terpadu tadi, Kedua, langkah-langkah apa saja yang seharusnya telah dapat diambil untuk segera membantu mereka yang terdampak covid-19.

Sudah dipahami bersama bahwa angka kemiskinan telah turun dari double digit ke single digit (11 ke 9 persen) dan hal itu adalah untuk yang pertama kali terjadi dalam sejarah Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, dengan tidak adanya pendapatan tidak tetap dari penduduk miskin yang merupakan mayoritas di Indonesia, dan hal itu mungkin akan terus berlangsung pada Q1, Q2, Q3 dan Q4/2020, maka adalah penting untuk memastikan bahwa mereka yang paling terdampak juga akan tercakup di dalam bantuan sosial (safety net program) yang diluncurkan oleh pemerintah RI.

Hal itu harus secepatnya dilaksanakan, agar mereka tidak lebih terjebak masuk dalam lingkaran kemiskinan. Tesisnya adalah, apabila mereka sudah terjebak masuk dalam jurang kemiskinan–yang sembilan persen tadi–maka akan sangat sulit untuk mengeluarkannya. Tesis tersebut telah banyak disebutkan dalam berbagai studi kemiskinan.

Maka oleh karenanya, jika ingin melakukan intervensi ke dalam sebuah kebijakan–paling tidak untuk BDT yang by name by address–apakah pernah terpikirkan oleh pemerintah untuk memasukkan Emic Perspective? Atau melihat dari perspektif orang yang akan dijangkau, bukan dari perspektif kita. Kita tidak berada pada posisi mereka.

Jadi kalau kita berangkat dari evidence based policy dan kemudian policy tersebut dicecar dari berbagai arah, maka yang harus ditelaah adalah bagaimana perspektif dari para perumus kebijakan dan juga apa perspektif para politisi, yang biasanya hanya ingin memastikan bahwa mereka tetap terpilih lagi atau tetap terpakai.

Lalu apa yang akan dikatakan oleh mereka yang tidak punya penghasilan tetap dalam kondisi seperti sekarang ini.

Dari beberapa webinar, misalnya dari analisis Gita Wiryawan dikatakan bahwa kalau hanya untuk memastikan bahwa yang 40 persen–jadi bukan hanya dari golongan kemiskinan yang 9 persen–agar bisa diperoleh perbaikan kondisi paling tidak dari tahap seperti sekarang dibutuhkan minimal Rp4.000 triliun untuk revitaliasi ekonomi.

Maka pertanyaanya kembali pada: Apakah negara cukup punya fiscal space untuk mengakomodasi. Apakah APBN kita mampu? Maka sudah bisa diperkirakan bahwa Indonesia tidak akan mampu untuk meluncurkan program-program social safety net yang jauh lebih progresif seperti yang dilakukan beberapa negara lain di masa pandemi saat ini.

Beberapa praktisi dan ahli kesehatan masyarakat bahkan Bappenas sudah menyebutkan bahwa tujuan utama Indonesia pada 2021 adalah health security. Bagi orang desa yang tidak pernah mengenal istilah health security maka tentu akan amat asing. Padahal seharusnya inisiasi itu muncul dalam konteks Musrenbangnas, Musrenbangdes atau Musrenbangdus. Jadi bersifat bottom-up bukan top-down.

Kemudian Presiden Jokowi mengatakan supply chain untuk sektor kesehatan sudah harus terbentuk. Ihwal pernyataan tersebut, bagi mereka yang telah lama bergelut pada ranah kesehatan ibu dan anak terutama memahami tingkat kematian ibu, anak dan bayi per tahun di Papua/NTT serta daerah-daerah yang rawan angka kematian ibu dan bayi, maka dapat ditelusuri bagaimana penanganan terhadap pembiayaan kesehatan.
Program-program penguatan kesehatan masyarakat sudah berlangsung lama sejak sebelum 2007. Namun pembelajaran-pembelajaran di lapangan yang beberapa diantaranya sudah sangat baik, apakah kemudian diadopsi oleh pemerintah dan dijadikan perumusan dalam penentuan kebijakan baik secara program maupun politik ke depan sehingga bisa digoalkan?

Ihwal penilaian bahwa pemerintah sudah bekerja sebaik-baiknya dalam penanganan covid 19, sebaiknya dilihat pada dua perspektif yang berbeda yakni perspektif public administration dan perspektif public policy atau public management.

Sayangnya, kebanyakan yang dilakukan masih pada lingkup public administration, bukan pada public policy atau public management.
Public Administration adalah tentang bagaimana route in maintenance of the governance atau tata kelola pemerintahan yang dikerjakan secara rutin sesuai aturan tatakelola yang berlaku. Sementara ketika masuk pada public manajemen atau public policy menurut Mark H. Moore harus melihat seperti apa sarana yang dimiliki.

Ketika menjanjikan BNPB akan menjadi jurubicara yang baik, apakah mereka sudah memiliki sarana dan alat, termasuk ketersediaan data.
Dari sisi data saja sudah bisa dijawab bahwa belum terdapat data yang teartikulasi dengan baik. Data kemiskinan by name by address pada BDT sampai sekarang belum dimutakhirkan.
Terakhir baru diperbaharui pada 2015 oleh Kemensos. Hal itu karena mungkin tidak memiliki sarana atau adanya keluhan dari petugas di lapangan yang mengeluhkan kendala pengumpulan data dari desa yang jaraknya berjauhan sampai puluhan kilometer, sementara gaji mereka hanya Rp2,5 juta per bulan.

Jadi, terdapat input unintended cosequences atau konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan ketika ingin menjabarkan dan mengartikulasi sebuah temuan lapangan menjadi sebuah produk kebijakan.

Tentang perubahan perilaku masyarakat, harus terlebih dulu dilihat dalam ranah kebijakan selama ini, apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintah untuk mampu mengidentifikasi faktor “the push and pull”.

Pemerintah tentu saja harus mengeluarkan regulasi dan aturan, tetapi yang terjadi di Indonesia adalah begitu banyaknya aturan yang sampai ribuan jumlahnya, tumpang tindih semenjak diberlakuannya otonomi daerah. Itu yang terjadi.

Tetapi penglihatan sampai saat ini, concern pemerintah masih pada public administration. Belum masuk pada tahap public management and public policy. Jadi yang bisa ditawarkan, bagaimana bisa menggodok dan menggulirkan narasi-narasi popular yang mampu menjadi bacaan dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat.

Terkait BDT, yang dapat ditawarkan adalah faktor perubahan perilaku masyarakat yang disatu sisi sebagai faktor “push”, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan dan regulasi/aturan. Tetapi kita semua mengerti bahwa hambatan terbesarnya adalah pada public managers para bupati dan pimpinan daerah lain yang hanya mengerti mengenai public administration.

Para kepala daerah itu harus ditingkatkan pemahamannya mengenai public management. Hal tersebut dilakukan agar mereka dapat memahami diskresi atau sistem insentif yang bisa diberlakukan untuk menangani permasalahan-permasalahan yang selalu terjadi dan sampai sekarang belum terpecahkan.

Menariknya, terdapat beberapa studi tentang leadership effectiveness dari sebuah kepemimpinan yang diambil dari 7.280 pemimpin dari companies yang paling sukses dan paling progresif di seluruh dunia berdasarkan studi Kanya D, researcher INADIS, yang mengatakan bahwa untuk high level position masih dioccupy oleh laki-laki ketimbang perempuan dengan perbandingan 64:36.
Tetapi banyak organisasi yang justru mencapai tingkat efektif dan efisien ketika dipimpin oleh perempuan hanya karena di dalam pengambilan keputusan mereka lebih mengutamakan emphaty based.

Dunia kepemimpinan harus mulai beralih dari ideological based policy ke basis fakta temuan lapangan, sebagaimana juga pernah dilansir oleh pemerintah Inggris pada 1990an.
Berbekal itu saja Indonesia masih tertatih-tatih. Negara sebesar Indonesia atau negara lain yang sama pasti juga akan kesulitan apalagi dengan cakupan geografis yang luas dan beragam seperti Indonesia.

Ketika ingin berkomitmen terhadap sesuatu maka harus dipastikan Pertama, bagaimana dialog dan policy engagement antar kementerian lembaga terkait. Kedua, Bagaimana public campaign harus dilakukan terhadap pandemi nasional. Seperti apa kegiatan dan bentuk narasi yang beragam agar mampu dipahami masyarakat yang sangat beragam.
Ketiga, Koordinasi antar K/L. Telah terdapat banyak sekali aturan. Tetapi ketika disadari terlalu banyak aturan apalagi tumpang tindih, maka yang harus dilakukan adalah bagaimana menyederhanakan itu semua.

Keempat, Ketika muncul suatu permasalahan, masih sangat sulit untuk mendorong collective institutional memory karena kepentingan politiknya terlalu kencang.

Menyikapi kepentingan politik yang terlalu kencang, apa yang harus ditawarkan? Tentunya kepada pengelolaan public policy yang target utamanya adalah public management. Hal pertama yang harus diberikan adalah penguasaan atas teknik analitik yang sulit. Ke depan, diharapkan akan membuat mereka mampu untuk menchallenge political judgement.

Pada saat yang sama tentunya semua ingin melihat munculnya sosok pemimpin yang mampu menchallenge secara politik ketika melancarkan sebuah program, atau mengeluarkan sebuah kebijakan tertentu.

Semua pihak harus mulai mendorong agar segala macam pembelajaran yang ada di masyarakat dapat dimasukkan ke dalam proses kebijakan selanjutnya. Begitu pula bagaimana mengawal aktor-aktor dan pelaku politik, dimulai dari lapisan terbawah Kadus, Kades, Lurah dan seterusnya agar mereka punya kemampuan minimal dalam bernegosiasi dengan pihak lain untuk membela kepentingan warganya. (Pso)

TerPopuler