-->

Notification

×

Iklan

Dari Engineering Centric ke Eco Centric; Gugatan Ekologis atas Pembangunan Jalan Trans Kieraha Maluku Utara

2 Des 2025 | Desember 02, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-02T02:48:34Z


Aspirasi Jabar Morotai - “Dalam alam, tidak ada yang benar-benar hilang,
 apa yang kita rusak akan kembali kepada kita.”
Rachel Carson (1962).

Pembangunan Jalan Trans Kieraha di Maluku Utara, menurut pandangan penulis, tidak dapat lagi dipahami hanya sebagai proyek infrastruktur yang netral secara ekologis. Jalan bukan sekadar garis hitam di atas peta, melainkan bentuk intervensi permanen yang mengubah wajah ruang hidup, memengaruhi ekosistem, dan pada akhirnya menentukan kualitas lingkungan yang diwariskan kepada generasi mendatang. Karena itu, persoalan utamanya bukan pada perlu atau tidaknya jalan dibangun, tetapi pada bagaimana pembangunan tersebut dirancang dan dilaksanakan agar tidak mengorbankan keberlanjutan ekosistem dan keselamatan komunitas lokal.

Dalam beberapa pekan terakhir, perdebatan antara Gubernur Maluku Utara dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Wilayah Maluku Utara, yang ramai diberitakan di media lokal, memperlihatkan adanya perbedaan mendasar dalam memandang arah pembangunan daerah Maluku Utara. Sebagian kalangan birokrat, politisi, dan akademisi menyatakan dukungan terhadap rencana pembangunan Jalan Trans Kieraha atas nama konektivitas dan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, KAHMI dan sejumlah pihak yang sejalan dengan mereka mengajukan kritik terhadap rencana tersebut, terutama terkait minimnya transparansi Feasibility Study (FS) yang menimbulkan kekhawatiran atas potensi dampak lingkungan yang belum terjawab secara meyakinkan.

Penulis berpandangan bahwa kritik tersebut tidak bisa serta-merta dianggap sebagai hambatan pembangunan, melainkan sebagai bagian dari kontrol publik yang sehat. Banyak studi mutakhir menunjukkan bahwa jalan di kawasan tropis sering menjadi pemicu percepatan deforestasi, fragmentasi habitat, dan penurunan keanekaragaman hayati (Spencer et al., 2023; Li et al., 2025). Fakta bahwa kawasan dalam radius tertentu dari jaringan jalan mengalami laju kehilangan hutan lebih tinggi daripada kawasan yang jauh dari jalan menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi membawa biaya ekologis yang tidak kecil. Dalam konteks ini, mengabaikan dimensi ekologis berarti menutup mata terhadap jejak panjang kerusakan yang mungkin baru terasa beberapa dekade ke depan. Dampak ekologis itu juga tidak bersifat abstrak. Fragmentasi habitat yang terjadi ketika jalan membelah kawasan hutan dapat mengisolasi populasi satwa dan menurunkan keragaman genetiknya (Li et al., 2025; Zhang & Kumar, 2024). Erosi dan sedimentasi yang meningkat akibat pembukaan lahan dan sistem drainase yang buruk akan merusak kualitas air dan habitat akuatik. Sementara itu, perubahan tata air karena permukaan jalan yang kedap air dapat memperbesar risiko banjir bahkan banjir bandang (Rahman et al., 2023). Semua ini bukan sekadar risiko teknis, melainkan ancaman nyata terhadap keberlanjutan ekosistem pada wilayah Pembangunan Jalan Trans Kieraha.

Bertolak dari kondisi tersebut, penulis menilai bahwa pembangunan Jalan Trans Kieraha seharusnya tidak lagi didorong oleh paradigma Engineering Centric yang menempatkan aspek teknis dan efisiensi jarak dan ekonomi sebagai pertimbangan utama dibangunya jalan trans kieraha. Jalan ini harus dipandang dalam kerangka Eco Centric, yang menjadikan perlindungan ekosistem dan keadilan antar generasi sebagai dasar pertimbangan utama. Itu berarti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), AMDAL, pemetaan koridor satwa, penilaian risiko bencana, hingga desain infrastruktur hijau seperti wildlife crossing dan sistem drainase berkelanjutan harus diletakkan di pusat proses perencanaan, bukan di pinggir sebagai pelengkap administrative semata. Pada titik inilah penulis melihat posisi kritik KAHMI Wilayah Maluku Utara sebagai kritik penting dan relevan. Tuntutan mereka terhadap transparansi dokumen studi (FS), pelibatan publik, dan penguatan dasar ilmiah perencanaan justru sejalan dengan prinsip tata kelola pembangunan yang demokratis dan berkelanjutan. Pembangunan yang menafikan partisipasi publik dan menutup informasi teknis hanya akan melahirkan ketidakpercayaan dan memperbesar risiko kesalahan kebijakan. Sebaliknya, proses yang terbuka memberikan ruang bagi koreksi, penyempurnaan desain, dan mitigasi dampak sejak awal. Penulis berpandangan bahwa Jalan Trans Kieraha pada akhirnya mungkin menjadi keniscayaan dalam kerangka pembangunan Maluku Utara, tetapi keniscayaan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan etika ekologis. Pembangunan jalan harus menjawab pertanyaan dasar: apakah pilihan trase dan bentuk intervensinya sudah meminimalkan kerusakan, dan apakah ada komitmen nyata untuk memulihkan kawasan yang terdampak. Kemajuan tidak seharusnya diukur hanya dari seberapa cepat mobil dan komoditas bergerak, tetapi juga dari sejauh mana generasi mendatang masih memiliki hutan, sungai, dan keanekaragaman hayati yang layak untuk dihuni dan dinikmati.

Dengan demikian, penulis sependapat dengan semangat yang disuarakan KAHMI Maluku Utara,  bahwa pembangunan Jalan Trans Kieraha perlu dirancang secara lebih ilmiah, transparan, dan partisipatif. Jalan bisa menjadi simbol kemajuan, tetapi hanya jika dibangun dengan kesadaran ekologis yang kuat, tanpa meninggalkan luka lingkungan yang kelak harus dibayar mahal oleh generasi berikutnya.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb
(Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya)

Oleh
Irfan Hi. Abd Rahman
Dosen Teknik Linkungan Universitas Pasifik Morotai
Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Kabupaten Pulau Morotai
×
Berita Terbaru Update