-->

Notification

×

Iklan

Permata Intan Garut Soroti Ketidakjelasan Regulasi Program Beasiswa Satu Desa Satu Sarjan

9 Des 2025 | Desember 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-09T21:48:44Z


Aspirasi Jabar || Garut – Program Beasiswa Satu Desa Satu Sarjana milik Pemerintah Kabupaten Garut kembali menjadi sorotan setelah munculnya keluhan dari salah satu penerima manfaat melalui Podcast Garut 60 Detik. Dalam podcast tersebut, Risha Salsa mengungkap bahwa dirinya tetap harus membayar biaya kuliah sebesar Rp2,3 juta, meski telah terdaftar sebagai penerima beasiswa.


Pengakuan tersebut memicu pertanyaan publik mengenai transparansi dan kejelasan skema pembiayaan dalam program yang selama ini dipromosikan sebagai upaya pemerataan akses pendidikan di Kabupaten Garut.


Secara umum, masyarakat memahami program Satu Desa Satu Sarjana sebagai beasiswa penuh yang menanggung biaya kuliah hingga lulus. Bahkan pada tahap sosialisasi awal, mahasiswa penerima disebut hanya perlu memikirkan biaya hidup dan tempat tinggal. Namun, temuan di lapangan menunjukkan adanya biaya tambahan yang masih dibebankan kepada mahasiswa.


Permata Intan Garut dalam catatan kritisnya menyebut situasi ini sebagai bentuk “kekerasan struktural”, merujuk pada teori Johan Galtung. Ketidakjelasan regulasi, perbedaan narasi antara pemerintah dan kampus, serta minimnya komunikasi publik dianggap menyebabkan mahasiswa menjadi pihak yang dirugikan.


Berdasarkan Salinan Peraturan Bupati Garut Nomor 39 Tahun 2025, khususnya BAB III Pasal 6 huruf (a), program tersebut secara eksplisit bukan beasiswa penuh, melainkan bantuan pendidikan sekitar Rp4 juta per semester. Artinya, masih ada komponen biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa.


Namun fakta regulatif ini dinilai tidak pernah disampaikan secara lengkap kepada masyarakat maupun calon penerima, sehingga menimbulkan kesenjangan antara persepsi publik dan implementasi kebijakan.


Permata Intan Garut menilai ketidakjelasan ini berdampak pada kekecewaan dan tekanan finansial bagi mahasiswa penerima, menurunnya kepercayaan publik terhadap program pemerintah, potensi ketimpangan akses karena beasiswa hanya bekerja sama dengan kampus tertentu, sehingga membatasi pilihan pendidikan pemuda Garut.


Situasi ini disebut sebagai kegagalan komunikasi publik yang seharusnya menjadi bagian penting dalam perumusan kebijakan pendidikan.


Dalam rilis resmi yang diterima redaksi, Permata Intan Garut menyampaikan enam poin sikap:

  1. Menyesalkan minimnya transparansi dan sosialisasi terkait besaran bantuan dan kewajiban mahasiswa.
  2. Mendesak Pemkab Garut mengevaluasi kerja sama dengan perguruan tinggi mitra, termasuk komponen biaya yang ditanggung pemerintah.
  3. Meminta pembukaan data publik terkait alur anggaran, MoU, dan skema bantuan secara rinci.
  4. Menuntut revisi strategi komunikasi publik, khususnya penggunaan istilah “Satu Desa Satu Sarjana” yang dinilai menimbulkan ekspektasi keliru.
  5. Mendorong pembentukan mekanisme pengaduan yang mudah diakses mahasiswa dan masyarakat.
  6. Mengajak pemuda dan organisasi daerah mengawal isu transparansi pendidikan.

Permata Intan Garut menegaskan akan terus mengawal isu ini. Menurut organisasi tersebut, pendidikan merupakan hak dasar masyarakat sehingga kebijakan yang berdampak pada masa depan pemuda Garut harus dirumuskan secara jujur dan bebas dari misinformasi.

Jurnalis : Teja

Editor : Alghifari

×
Berita Terbaru Update