Aspirasi Jabar || Subang - Bencana hidrometeorologi berupa banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera sejak pertengahan November 2025. telah memakan korban jiwa yang sangat besar. Hingga Minggu, malam. (30/11/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). mencatat 442 orang meninggal dunia dan 402 orang lainnya masih dalam status hilang di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Senin. 1/12/2025.
Kami menyampaikan duka cita yang mendalam kepada seluruh keluarga korban yang ditinggalkan, kepada ratusan korban luka-luka yang hingga kini masih berjuang di rumah sakit dan posko kesehatan, serta kepada masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, harta benda, dan mata pencaharian. Semoga Allah SWT memberikan ketabahan dan kekuatan kepada seluruh korban serta keluarga yang terdampak.
"Wilayah Terdampak Luas"
Di Aceh, sejak 18 - 26 November 2025, banjir melanda sembilan kabupaten/kota: Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Singkil, Aceh Utara, dan Aceh Selatan. Delapan kabupaten lainnya ditetapkan status darurat bencana hidrometeorologi, yaitu Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Barat.
Di Sumatera Utara, banjir dan longsor sejak 21 November 2025 menerjang 12 kabupaten/kota: Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Kota Sibolga, Mandailing Natal, Serdang Bedagai, Nias Selatan, Pakpak Bharat, Kota Gunungsitoli, dan Kota Padang Sidempuan. Khusus di Tapanuli Tengah, kecamatan yang terparah adalah Pandan, Sarudik, Badiri, Kolang, Tukka, Lumut, Barus, Sorkam, dan Pinangsori.
Sementara di Sumatera Barat, wilayah terdampak meliputi Kabupaten Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Padang, Solok, Tanah Datar, dan Agam.
"Peringatan Keras dari Perspektif Hukum Pidana dan Tindak Pidana Korupsi"
Sadath M. Nur, SHI., MH, advokat sekaligus dosen Hukum di STEINU Subang, menekankan bahwa momentum duka ini rawan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
“Pengalaman bencana sebelumnya menunjukkan bahwa penyelewengan bantuan bencana merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi berat yang diancam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31/1999 yang telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp.1 miliar,” tegas Sadath.
Ia melanjutkan, “Jika terbukti dilakukan secara bersama-sama atau oleh penyelenggara negara, ancaman pidananya dapat diperberat. Belum lagi potensi tindak pidana pencucian uang (TPPU) jika dana bantuan tersebut ‘dicuci’ ke aset pribadi.”
Sadath menyerukan agar aparat penegak hukum, KPK, Kejaksaan, dan Polri, sejak dini melakukan pengawasan preventif dan membentuk satuan tugas khusus pengamanan bantuan bencana.
“Pengawasan harus ketat dan transparan, mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi, hingga pertanggungjawaban. Publik harus bisa mengakses data real-time mengenai jumlah bantuan yang masuk dan penyalurannya. Jika ada indikasi mark-up, pengadaan fiktif, atau pemotongan bantuan, harus langsung diproses hukum tanpa pandang bulu,” tandasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa musibah ini bukan ajang mencari keuntungan pribadi, melainkan murni untuk nilai kemanusiaan. “Siapa pun yang memanfaatkan penderitaan rakyat untuk memperkaya diri, sama saja telah melakukan kejahatan kemanusiaan sekaligus kejahatan terhadap negara,” pungkas Sadath M. Nur.
Semoga bencana ini segera berlalu, para korban mendapatkan pertolongan secepatnya, dan tidak ada satu rupiah pun bantuan yang diselewengkan. Indonesia berduka, tetapi Indonesia juga harus tetap tegak menegakkan hukum dan keadilan di tengah musibah.
Editor : Asp. SP.
