-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Politik ekologi Pencemaran Teluk Weda: Pembunuhan Manusia atas Nama Investasi

1 Jun 2025 | Juni 01, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-01T01:59:14Z



Oleh 
Irfan Hi. Abd Rahman
Mahasiswa  S3 Ilmu Lingkungan Universitas Hasanuddin Makassar 

Aspirasi Jabar Morotai-Manusia adalah bagian dari alam, dan perang terhadap alam berarti perang terhadap diri kita sendiri (Carson, R. 1962).

Ditemukanya logam berat  merkuri dan arsanik pada ikan dan darah manusia di kawasan Teluk Weda Halmahera  Tengah sebagaimana di publikasi oleh media nasional (kompas) dan daerah dalam beberapa hari  terakhir hal tersebut bukan hanya terjadi krisis ekologis. Tetapi Ia adalah tragedi sosial dan bentuk pembunuhan manusia secara perlahan atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. 

Dalam perspektif politik ekologi, kerusakan Teluk Weda bukan kecelakaan alam, tapi hasil dari relasi kuasa yang timpan di mana masyarakat lokal dikorbankan demi kepentingan modal dan elit penguasa. Industri pertambangan dan pengolahan nikel yang terus berkembang pesat di kawasan halmahera Tengah telah menciptakan apa yang disebut sebagai eksternalitas ekologi, kerusakan yang tidak ditanggung oleh pelaku utama, tetapi oleh nelayan, petani pesisir, dan anak-anak dipaksa  lahir di tengah laut yang tercemar. Ini bukan sekadar soal logam berat dan sedimentasi, melainkan tentang hilangnya mata pencaharian, rusaknya ekosistem laut, dan terkikisnya harapan hidup yang layak bagi masyarakat 


Lalu pertanyaannya siapa yang di untungkan dan siapa yang dikorbankan dari Industri pertambangan di halmahera Tengah?

Dalam prespektif Politik ekologi  kita di ajarkan untuk melihat krisis lingkungan sebagai konflik kepentingan antara mereka yang memiliki kekuasaan atas sumber daya dan mereka (Rakyat) yang hidup dari sumber daya tersebut. Di Teluk Weda, terlihat jelas korporasi besar mendapat keuntungan, sementara masyarakat lokal memikul beban kerusakan dan pencemaran.

Pencemaran ini bukan sekadar persoalan teknis yang bisa diselesaikan dengan reklamasi atau CSR perusahan. Ini adalah wujud pemusatan kekuasaan ekonomi dan politik atas ruang hidup rakyat dan itu berarti kejahatan struktural dapat dikatakan telah terjadi. Negara, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan ekologis, justru terlihat abai, bahkan cenderung permisif terhadap pelanggaran lingkungan yang terjadi secara sistemik.

Pencemaran teluk weda adalah Pembunuhan secara Perlahan

Ketika laut tercemar, bukan hanya ikan yang mati. Tapi juga harapan orang tua yang ingin menyekolahkan anak dari hasil tangkapan laut, atau anak-anak pesisir yang kini tumbuh dengan lingkungan yang sakit. Ini adalah bentuk kekerasan struktural di mana manusia dimiskinkan, dimarginalkan, dan dikorbankan secara legal dan perlahan.

Maka tidak berlebihan jika saya menyebutnya sebagai pembunuhan manusia atas nama investasi. Pembunuhan yang dibungkus dengan istilah proyek strategis nasional, hilirisasi industri dan pertumbuhan ekonomi.

Kita perlu Mendesak dilakukan Audit lingkungan dan meminta Pertanggungjawaban

Negara tidak boleh tinggal diam. Kementerian Lingkungan Hidup KLH) bersama pemerintah provinsi maluku utara dan halmahera tengah harus segera melakukan audit lingkungan menyeluruh terhadap perusahan tambang yang beroperasi di kawasan Teluk Weda. Tidak cukup hanya melihat dokumen AMDAL yang seringkali di penuhi manipulasi dan tidak partisipatif tetapi juga harus melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam proses evaluasi dan pengambilan keputusan.

Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten halmahera tengah tidak bisa terus bersikap ambigu atau diam, sebab Diamnya birokrasi lokal terhadap pencemaran ini semakin memperjelas posisi keberpihakan pada pemilik modal, bukan pada rakyat.


Saya mendesak  Harus Ada Perubahan Arah, pencemaran terhadap Teluk Weda adalah simbol dari kegagalan kita membangun dengan hati  diatas prinsip berkelanjutan. Ketika ruang hidup dikorbankan untuk ambisi industri tanpa kendali, maka sesungguhnya pembangunan itu sedang menggali kubur manusia itu sendiri.

Sekali lagi Keadilan ekologis bukan pilihan moral ia adalah bentuk syarat keberlangsungan ekologis termasuk manusia. Saya percaya, masih ada harapan. Tapi harapan itu hanya akan tumbuh jika kita berani bersuara, berani menolak ketimpangan dan berani menyatakan hidup rakyat lebih penting dari keuntungan korporasi pertambangan yang mencemari dan merusak.
×
Berita Terbaru Update