Aspirasi Jabar || JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU BBLNLK) pada, Rabu. (22/10/2025). Sidang kedua untuk Perkara Nomor 173/PUU-XXIII/2025 dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan dari Feri Kurniawan (Pemohon I) dan Fatchurozak (Pemohon II) ini dilaksanakan oleh Sidang Panel yang dipimpin oleh Ketua, MK. Suhartoyo.
Para Pemohon melalui kuasanya, Yapiter Marpi mengatakan telah melakukan penambahan komparasi analisis hukum dari beberapa negara lain yang memiliki persoalan serupa dengan berlakunya norma yang diujikan terkait kewajiban aspek kebahasaan, di antaranya Belgia, Lituania, dan Prancis.
“Dari kesimpulan komparasi negara tersebut, negara yang memiliki norma kewajiban dalam konteks penggunaan bahasa dalam perjanjian tertentu selalu mencantumkan ancaman sanksi dan akibat hukum negatif yang jelas. Tidak ada satu pun negara yang membiarkan norma kewajiban tanpa sanksi, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonsistensi penafsiran,” sebut Yapiter.
Selain itu, para Pemohon juga telah memperkuat bagian dalil teoretis terkait kewajiban dan sanksi berupa teori kewajiban hukum yang dibarengi dengan sanksi. Bahkan para Pemohon juga telah menguraikan disertai dengan kutipan dari pendapat Hans Kalsen. Disebutkan bahwa norma moral positif merupakan norma yang berisi kewajiban tetapi tidak disertai sanksi yang dapat dilaksanakan oleh otoritas hukum. Sedangkan norma moral positif bersumber dari kesadaran sosial atau moral masyarakat, bukan dari kehendak negara.
“Oleh karena itu, pelanggaran norma moral positif tidak mengakibatkan sanksi hukum yang dapat dipaksakan oleh hakim atau aparat negara, melainkan hanya mengakibatkan sanksi sosial, berupa celaan moral, kehilangan reputasi, atau pengucilan sosial. Namun menurut para Pemohon, penting untuk dicatat bahwa tidak semua kewajiban tanpa sanksi dapat diterima secara rasional. Hukum apabila tanpa alasan yang jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 82/PUU-XXI/2023. Kata wajib akan memiliki konsekuensi adanya sanksi jika tidak dilaksanakan. Hal ini telah tegas ditetukan dalam UUP3 bahwa untuk mweyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan guna kata wajib jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka yang bersangkutan dapat dijatuhkan sanksi,” terang. Yapiter.
Risiko Penggunaan Bahasa Asing dalam Nota Kesepahaman
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 173/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Feri Kurniawan (Pemohon I) dan Fatchurozak (Pemohon II). Pada Sidang Pendahuluan di MK, Kamis (9/10/2025) Pemohon I sebagai seorang calon advokat dalam melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap perjanjian berbahasa asing bagi klien yang merupakan subjek hukum Indonesia, Pemohon I tidak akan dapat memberikan kesimpulan yang definitif terhadap keabsahannya. Selain itu, ketika dalam memberikan nasihat hukum, Pemohon I tidak akan dapat memberikan pendapat hukum (legal opinion) yang definitif dan pasti kepada klien yang merupakan subjek hukum Indonesia mengenai akibat hukum dari perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing. Hal ini kemudian dapat mencederai integritas profesional Pemohon I. Adapun dalam proses litigasi, Pemohon I dan kliennya akan dihadapkan pada risiko interpretasi hakim yang berbeda-beda di berbagai tingkatan pengadilan, yang dapat berujung pada putusan yang tidak prediktabel dan inkonsisten.
Menggerus Sumber Pendapatan
Sementara itu, Pemohon II yang berprofesi sebagai penerjemah tersumpah (sworn translator) bertugas memberikan jaminan formal dan sertifikasi berupa dokumen termasuk perjanjian dan nota kesepahaman yang berbahasa asing memiliki kesetaraan makna dan kekuatan hukum yang sama dengan versi terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, ataupun sebaliknya. Menurut Pemohon II, adanya ketidakjelasan sanksi atas pelanggaran atas kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam pembuatan nota kesepahaman dan perjanjian yang melibatkan subjek hukum Indonesia, sebagaimana tertera dalam Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009, berakibat munculnya penafsiran bahwa nota kesepahaman dan perjanjian berbahasa asing tanpa versi Bahasa Indonesia tetap sah. Oleh karenanya, secara aktual berakibat pada menurunnya permintaan atas jasa penerjemahan nota kesepahaman maupun perjanjian. Hal ini sejatinya merupakan salah satu sumber utama penghasilan Pemohon II, sehingga hal ini nyata telah menggerus sumber pendapatan utamanya.
Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan adalah inkonstitusional secara 23 bersyarat (conditionally unconstitutional) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia, yang apabila tidak dipenuhi menjadikan nota kesepahaman dan perjanjian tersebut batal demi hukum."
Jelajahi Jejak : Perkara Nomor 173/PUU-XXIII/2025.
Editor : Asp. SP.

